SMS GRATIS

Selasa, 25 Desember 2007

Dapet info kalo ada SMS gratisan via internet ke semua operator tanpa harus membayar, asyik dong. benaer kah? gimana caranya, apa harus daftar dulu atau...
Baca selanjutnya di........

buat temen2 yang mau mencoba sms gratisan silahkan kunjungi blog berikut:

http://kabupatennabire.blogspot.com/

Belajar Bahasa Arab Mandiri...


"Belajar Bahasa Arab untuk Orang Indonesia" (disingkat: Arabindo) adalah program belajar Bahasa Arab secara mandiri bagi pemula, yang mudah dipelajari oleh orang Indonesia yang paling awam dalam Bahasa Arab sekalipun. Syaratnya hanya satu, anda harus MAHIR dan GEMAR membaca al-Quran. Dengan modal tersebut, anda bisa mempelajari Bahasa Arab, yang merupakan Bahasa al-Quran al-Karim, Bahasa al-Hadits asy-Syarif dan Bahasa Persatuan Ummat Islam.

Kini telah hadir Program Multimedia Arabindo yang atraktif dan interaktif dalam satu keping CD (Compact Disc). CD Arabindo (680 MB) memuat materi Pelajaran (Tata Bahasa), Percakapan, Bacaan, Ceramah dan Tayangan (Video) ditambah dengan sejumlah bonus software dan ebook seperti Quran Digital, Arabic-English Dictionary, ArabicPad, Kamus Mini Arabindo, Shaplus Google Translator, Arabic Keyboard,dll
Anda dapat melihat sekilas pelajran di WEB ini...
ARABINDO


Bagi yang berminat dapat menghubungi kami.
Abu Hilyah
contact : +628164599880
abuhilyah@gmail.com

Jangan Menyerah Saudariku...

Sabtu, 22 Desember 2007

Penulis: Ummu HafidzMuroja’ah: Ustadz Subhan Khadafi, Lc.

Pusing! itulah yang ada di kepala Ida (bukan nama sebenarnya). Sepertinya ‘tuntutan hidup’ mengharuskan dia bekerja, yang itu berarti dia harus bercampur baur dengan para pria. Ya Allah, kuatkanlah imannya dan berikan sifat istiqomah dalam menjalankan ketaatan kepada-Mu. Aamiin.Sebuah tuntutan dari orang yang telah membiayai pendidikan (kuliah), baik itu orang tua, kakak, paman, bibi, atau yang lainnya adalah sebuah kewajaran ketika mereka merasa bahwa ‘tugas’ mereka menyekolahkan seorang anak telah selesai. Lalu, apakah setiap tuntutan itu harus dipenuhi? Lalu kemudian teringat sebuah hadits dari Rasulullah sholallahu’alaihiwassalam yang maknanya adalah sebuah kebaikan dibalas dengan kebaikan yang serupa, dan bila tidak mampu maka dengan mendoakannya (HR. Baihaqi).

Berbagai pikiran mungkin berkecamuk di benak, “Entah telah berapa puluh juta yang mereka telah keluarkan untuk membiayai kuliahku, tapi entah berapa yang bisa kubalas, atau entah apakah sebanding yang kudapat sekarang dengan yang mereka korbankan”. Di samping tuntutan dari orang-orang di belakang layar selama proses menempuh perkuliahan, masih pula dikejar-kejar oleh kebutuhan hidup yang perlu dipenuhi. Dan biaya-biaya tak terduga yang pada intinya akan mengurangi ‘bekal’ yang masih tersisa. Seakan-akan semua keadaan itu berteriak bersama-sama, “Kerja! kerja! kerja!”, “Cari yang bergaji wah!”, “Pendekkan saja jilbabmu, tidak apa-apa, biar cepat mendapatkan kerja!”, “Lepas cadarmu, tidak ada yang mau menerima wanita seperti dirimu”, “Jangan cuma kerja yang begitu!”. Dan bisikan-bisikan hawa nafsu yang setiap orang pasti memilikinya, dan tidaklah hawa nafsu itu melainkan mengajak pada keburukan.
Saudariku, kuatkan imanmu!Dimana pelajaran tauhid yang selama ini telah engkau pelajari? Dan kemanakah perginya konsekuensi dari pengenalan nama dan sifat Allah Ta’ala yang telah engkau ketahui? Engkau mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Kaya. Engkau telah mengetahui bahwa Allah Ta’ala telah mengatur seluruhnya dan tertulis dalam kitab Lauh Mahfuz. Jauh, jauh sebelum engkau diciptakan. Segala ketentuannya tak dapat dirubah. Namun, engkau adalah manusia yang menjalankan dengan berbagai pilihan. Dan engkau akan dimudahkan pada setiap takdir yang telah ditentukan. Dari pengenalanmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, engkau mengetahui, bahwa rezeki, kehidupan yang baik dan buruk, seluruhnya telah ditentukan. Maka, berdoalah! Dan bersabarlah! Serta bersyukurlah dengan keadaanmu sekarang.
…Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Al Imraan [3]: 145)
Engkau tidak dapat mengejar tujuan hidup berupa kekayaan. Dan engkau -seharusnya- tidak menanggalkan pakaian ketakwaan. Kekayaan telah ditentukan. Nikmat Islam telah diberikan. Keadaan yang diberikan kepadamu sekarang, insya Allah adalah lebih baik dari yang lain atau yang sebelumnya. Jika engkau masih memikirkan, antara keinginan yang kuat untuk tetap bertahan dalam ketaatan menjalankan syari’at, maka bersyukurlah! Karena itu adalah keadaan yang lebih baik untuk dirimu. Bandingkanlah dengan keadaan mereka yang tidak perlu bersusah payah mempertimbangkan itu semua. Dan dengan mudahnya mereka jatuh dalam gelimang dosa. Dan salah satu cara untuk mewujudkan rasa syukurmu adalah dengan lebih menjalankan ketaatan kepada-Nya. Perhatikanlah firman Allah ta’ala kepada orang-orang yang telah diberikan nikmat.
…Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Al A’raaf [7]: 69)
Nikmat yang engkau rasakan dalam menjalankan ketaatan dalam agama Islam adalah jauh lebih baik dari dunia dan segala isinya. Tidak semua orang Islam dapat merasakan ini. Karena terdapat dua nikmat dalam Islam. Nikmat karena telah beragama Islam (ni’mat lil islam) dan nikmat dalam Islam itu sendiri (ni’mat fil islam). Tidak semua orang Islam mendapatkan nikmat untuk menjalankan ketundukan pada syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan telah dijelaskan oleh Nabi kita Muhammad sholallahu ‘alaihi wa sallam.
Ya! Baiklah! Masih berkutat di pikiranmu. Bagaimana dengan kebutuhan hidupku?! Bagaimana dengan balas jasaku? Allahumma… semoga Allah memudahkan jalanmu saudariku. Tidakkah engkau ingat bahwa masing-masing telah ditentukan rezekinya. Bahkan sampai binatang yang cacat sekalipun, yang ia tidak dapat mencari makanan sendiri atau mangsa sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji pada hamba-hamba-Nya lewat firman-Nya (dan sungguh janji Allah Ta’ala adalah benar adanya)
…Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. At Thalaq [65]: 2)
Dan ayat ini sejalan dengan sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam ketika memberikan jalan bagi seorang muslim dalam menghadapi kehidupan di dunia dimana seorang makhluk memiliki berbagai kebutuhan,
Sekiranya kalian bertawwakal kepada Allah secara benar maka Dia akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki pada burung. Mereka berangkat pada waktu pagi dalam keadaan sangat lapar dan pulang dalam keadaan sangat kenyang. (Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Ibn Majah, Ibn Hibban, dan Hakim. Tirmidzi berkata, hadist ini hasan shohih)
Saudariku… burung tersebut tentu tidak memastikan bahwa setiap bulannya harus mendapatkan makanan sekian dan sekian. Namun ia berusaha untuk mendapatkan apa yang dia butuhkan dan mendapatkan rezeki dari Allah Subhanhu wa Ta’ala. Maka bersyukur adalah yang lebih layak engkau lakukan dan dengan demikian maka akan terwujud sikap qona’ah dalam hatimu.
Syaitan menjanjikan kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan, sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengatahui. (Al-Baqoroh [2]: 268)
Lalu, bagaimana dengan balas jasaku? Maka dengan menjalankan keta’atan kepada Allah, engkau memberikan balasan yang insya Allah jauh lebih besar manfaatnya untuk mereka di akherat nanti. Mengapa? Perhatikan hadits dari Rasulullah sholAllahu’alaihiwassalam berikut ini (yang secara makna artinya) “Tidak ada ketaatan pada makhluk dalam hal kemaksiatan pada Allah.”
Dan dari Abu Huroiroh rodhiallahu’anhu Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan maka dia menanggung dosanya dan juga menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka. (HR. Muslim)
Maka jika engkau mengikuti mereka dalam sebuah hal yang dapat menjerumuskanmu dalam kemaksiatan, maka ketahuilah saudariku, engkau juga telah memberikan dosa-dosa yang semisal kepada mereka. Wal’iyyadzubillah. Dan berpuluh-puluh juta yang telah mereka korbankan untukmu agar engkau pada akhirnya menjalankan sebuah kemaksiatan tidak akan memberi manfaat sedikitpun di akherat nanti dan justru yang terjadi adalah sebaliknya, mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas segala amal perbuatannya. Maka, janganlah ukur segala sesuatu dengan materi keduniaan. Karena ada kehidupan yang jauh lebih patut untuk dipikirkan dan dipersiapkan.
Pesan terakhir yang paling baik adalah kalimat dari manusia terbaik yaitu Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam, dari Abu Sa’id Al-Khudry rodhiallahu’anhu, dia berkata. ‘Aku memasuki tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau sedang demam. Lalu kuletakkan tanganku di badan beliau. Maka aku merasakan panas di tanganku di atas selimut. Lalu aku berkata. ‘Wahai Rasulullah, alangkah kerasnya sakit ini pada dirimu’. Beliau berkata: ‘Begitulah kami (para nabi). Cobaan dilipatkan kepada kami dan pahala juga ditingkatkan bagi kami’. Aku bertanya. ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya ? Beliau menjawab: ‘Para nabi. Aku bertanya. ‘Wahai Rasulullah, kemudian siapa lagi? Beliau menjawab: ‘Kemudian orang-orang shalih. Sungguh salah seorang di antara mereka diuji dengan kemiskinan, sampai-sampai salah seorang diantara mereka tidak mendapatkan kecuali (tambalan) mantel yang dia himpun. Dan, sungguh salah seorang diantara mereka merasa senang karena cobaan, sebagaimana salah seorang diantara kamu yang senang karena kemewahan’. (HR. Ibnu Majah, Al-Hakim, di shahihkan Adz-Dzahaby)
Jangan menyerah saudariku!Rezeki yang kau butuhkan,tidak hanya bertumpuk pada hiruk pikuk perkantoran.Tidak hanya terkumpul pada tempat yang memudahkanmu menjalankan kemaksiatan.Balas jasamu tidak sekedar materi keduniaan.Sebuah do’a dan amal sholeh lebih dapat menghindarkan mereka dari kehinaan.Insya Allah.Semoga Allah memudahkanmu dalam ketaatan.Dan memberikan yang lebih baik, yaitu manisnya iman.

Sebuah nasihat bagi diriku dan ukhtifillah
Diambil dari : Muslimah.or.id
4 October, 2006


KEWAJIBANMU DALAM RUMAH TANGGA

Kamis, 20 Desember 2007

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

Dalam Islam, peran domestik kaum istri memiliki kedudukan yang sangat mulia. Namun musuh-musuh Islam terus berusaha meruntuhkan sendi dasar rumah tangga ini dengan menggalang berbagai opini menyesatkan. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagian propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak wanita-wanita Islam.


Islam, oleh musuh-musuhnya, dituding sebagai ajaran yang tidak sensitif gender. Posisi wanita dalam Islam, menurut mereka, selalu termarginalkan atau terpinggirkan dalam lingkungan yang didominasi dan dikuasai laki-laki.
Permasalahan yang sering ‘diserang’ kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam adalah peran istri/ ibu dalam mengurusi tugas-tugas kerumahtanggaan. Oleh mereka, peran ibu yang hanya mengurusi tugas-tugas domestik hanya akan menciptakan ketidakberdayaan sekaligus ketergantungan istri terhadap suaminya.
Juga dikesankan bahwa wanita yang hanya tinggal di rumah adalah pengangguran dan menyia-nyiakan setengah dari potensi masyarakat. Propaganda ini didukung oleh opini negatif yang berkembang di masyarakat di mana wanita selama ini tak lebih dari sekedar “konco wingking”, wanita tak lepas dari “dapur, kasur, dan sumur”, “masak, macak, manak“, dan sebagainya. Oleh karena itu, agar wanita bisa “maju”, para wanita harus direposisi dalam ruang publik yang seluas-luasnya.
Gerakan ini gencar dilancarkan musuh-musuh Islam karena mereka sangat paham bagaimana merusak Islam dengan menjadikan wanita muslimah sebagai sasaran bidik. Dengan semakin jauhnya kaum wanita dari rumah, mereka berharap pintu-pintu kerusakan akan semakin terbuka lebar. Lebih jauh, jika wanitanya telah rusak, maka tatanan masyarakat Islam akan rusak pula.

Rumahmu Istanamu
Seorang wanita perlu mengetahui bahwa tempat asalnya berdiam adalah dalam rumahnya, dan rumah ini pula yang menjadi tempatnya bekerja. Dalil-dalil dari syariat yang mulia telah menetapkan dan mempersaksikan tentang hal ini, di antaranya:
- Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Ummahatul Mukminin:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al-Ahzab: 33)
Makna ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah perintah untuk selalu menetap dalam rumah. Walaupun sasaran pembicaraan dalam ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun secara makna wanita selain mereka juga termasuk di dalam perintah ini. (Al-Jami’ li Ahkamil Quran, 14/117)
- Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
لاَ تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْ بُيُوْتِهِنَّ وَلاَ يَخْرُجْنَ
“Janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri-istri yang telah ditalak) dari rumah-rumah mereka dan janganlah mereka keluar.” (Ath-Thalaq: 1)
Walaupun ayat di atas berkenaan dengan wanita/ istri yang tengah menjalani masa ‘iddah, namun kata ulama, hukumnya tidaklah khusus bagi mereka namun juga berlaku bagi wanita yang lain. (Daurul Mar’ah fi Tarbiyatul Usrah, Asy-Syaikh Shalih bin Abdillah Alu Fauzan, hal. 1. www.alfauzan.net)
- Pelajaran dari kisah antara Nabi Musa ‘alaihissalam dengan dua orang wanita di Madyan, yang Allah kisahkan kepada kita dalam Tanzil-Nya:
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُوْنَ وَوَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُوْدَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لاَ نَسْقِيْ حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُوْنَا شَيْخٌ كَبِيْرٌ. فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ. فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِيْ يَدْعُوْكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لاَ تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْن. َقَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ
“Tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, di sana ia menjumpai sekumpulan orang yang sedang meminumkan ternak mereka dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat ternaknya. Musa berkata: ‘Apa maksud kalian berbuat begini, kenapa kalian tidak ikut meminumkan ternak kalian bersama mereka?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami tidak dapat meminumkan ternak kami sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternak mereka, sedangkan ayah kami1 telah berusia lanjut.’ Maka Musa memberi minum ternak itu untuk menolong keduanya, kemudian ia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu sembari berjalan dengan malu-malu, ia berkata: ‘Ayahku memanggilmu untuk membalas kebaikanmu memberi minum ternak kami.’ Maka tatkala Musa mendatangi ayahnya, ia menceritakan kisah dirinya. Syu’aib pun berkata: ‘Janganlah takut, engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim itu (Fir’aun dan pengikutnya).’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya’.” (Al-Qashash: 23-26)
Karena sifat wara dan takwa yang ada pada keduanya, kedua wanita ini enggan untuk bercampur (ikhtilath) dengan para penggembala tersebut. Adapun keduanya keluar rumah untuk memberi minum ternaknya adalah karena darurat, di mana sang ayah telah berusia senja sehingga tak mampu lagi mengurus ternak yang ada. Perjumpaan dengan Nabi Musa ‘alaihissalam membuahkan gagasan di benak salah seorang dari wanita tersebut bahwa telah tiba saatnya untuk mengembalikan perkara pada tempat yang semestinya, ia pun berkata kepada sang ayah: “Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Sang ayah pun menyambut usulan putrinya, kemudian berkata kepada Nabi Musa:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِيْنَ
“Berkatalah sang ayah: ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua putriku ini, atas dasar engkau bekerja denganku selama delapan tahun dan jika engkau cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu, aku tidaklah hendak memberatkanmu. Dan engkau Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik’.” (Al-Qashash: 27) [Daurul Mar’ah, hal. 1]
- Shalat di masjid sebagai satu amalan yang utama disyariatkan kepada kaum lelaki, banyak pahala akan diraih terlebih bila shalat itu dilakukan di Masjid Nabawi. Namun ternyata bersamaan dengan itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kaum wanita untuk shalat di rumah mereka. Ketika istri Abu Humaid As-Sa’idi datang kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menyatakan: “Wahai Rasulullah, aku senang shalat berjamaah bersamamu.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّيْنَ الصَّلاَةَ مَعِيْ, وَصَلاَتُكِ فِيْ بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِيْ حُجْرَتِكِ, وَصَلاَتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي دَارِكِ, وَصَلاَتُكِ فِيْ دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ, وَصَلاَتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن ْصَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِيْ
“Sungguh aku tahu engkau senang shalat jamaah denganku, namun shalatmu di ruang yang khusus yang ada di rumahmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di kamarmu, shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu, shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad, 6/371, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 155)
Bila seorang wanita tetap tinggal di rumahnya, ia akan bisa menunaikan tugas-tugas dalam rumahnya, memenuhi hak-hak suaminya, mendidik anak-anaknya dan membekali dirinya dengan kebaikan. Sementara bila seorang wanita sering keluar rumah, ia akan menyia-nyiakan sekian banyak kewajiban yang dibebankan kepadanya. (Nashihati Lin Nisa’, Ummu Abdillah Al-Wadi‘iyyah, hal. 101)

Keluar rumah saat ada hajat
Dari penjelasan di atas, janganlah dipahami bahwa wanita dilarang secara mutlak untuk keluar dari rumahnya. Bahkan terdapat keterangan dari syariat tentang kebolehan wanita keluar dari rumahnya saat ada kebutuhan dan karena darurat.
- ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkisah: “Suatu malam, Saudah bintu Zam’ah radhiallahu ‘anha keluar dari rumahnya untuk membuang hajat. Ketika itu ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu melihatnya dan mengenalinya. ‘Umar pun berkata: “Engkau Saudah, demi Allah, tidak tersembunyi bagi kami.” Saudah pun kembali menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia ceritakan kejadian tersebut kepada beliau. Saat itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang makan malam di rumahku. Dalam keadaan tangan beliau sedang memegang tulang yang padanya ada sisa daging, turunlah wahyu, beliau pun berkata:
قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengizinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 5237 dan Muslim no. 2170)
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi tuntunan kepada para suami untuk tidak melarang istri mereka shalat di masjid, bila si istri minta izin padanya:
إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا
“Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke masjid maka janganlah ia melarangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 873 dan Muslim no. 442)
Dan beliau menyatakan:
لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَََََََ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ
“Janganlah kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 900 dan Muslim no. 442)
- Dari sejarah para shahabiyyah, kita mengetahui ada di antara mereka yang keluar menyertai mahram mereka ke medan jihad untuk memberi minum kepada mujahidin dan mengobati orang yang luka.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم يَغْزُوْ بِأُمِّ سُلَيْمٍ وَنِسْوَة مِنَ الأنْصَارِ مَعَهُ إِذَا غَزَا فَيَسْقِيْنَ الْمَاءَ وَيُدَاوِيْنَ الْجَرْحَى
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berperang bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita dari kalangan Anshar ikut bersama beliau ketika beliau berperang. Mereka memberi minum dan mengobati mujahidin yang terluka.” (HR. Muslim no. 1810)
Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anhu bertutur: “Aku pernah berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tujuh kali peperangan, aku menjaga dan mengurus tunggangan-tunggangan mereka (mujahidin), membuatkan makanan untuk mereka, mengobati orang yang luka dan merawat orang sakit.” (HR. Muslim no. 1812)
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bila hendak safar, beliau mengundi di antara istri-istrinya untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan menyertai beliau dalam safarnya.
Keluarnya wanita dari rumahnya ini merupakan pengecualian dari hukum asal2 dan disebabkan kepentingan yang darurat dengan memperhatikan dan menjaga adab-adab ketika keluar rumah seperti berhijab dan sebagainya, dan juga tidak ada fitnah dan kerusakan yang akan timbul saat ia keluar rumah. Adapun bila wanita keluar rumah untuk bekerja karena memperhatikan bualan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu syaithaniyyah bahwasanya bila wanita tetap tinggal di rumahnya ia akan menjadi pengangguran, maka hal ini tidaklah dibolehkan oleh syariat yang agung dan sempurna ini. Bila sampai wanita keluar dari rumahnya karena memenuhi ajakan manis nan berbisa dari pengikut hawa nafsu tersebut maka akan terjadilah kerusakan yang besar di tengah masyarakat dan sendi-sendi keluarga pun akan hancur.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus agar keduanya dapat menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya seperti mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, merawat dan mengobati mereka dan pekerjaan yang semisalnya yang khusus bagi wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik secara hakiki maupun maknawi.” (Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fi Maidanil ‘Amal, hal. 5)

Arti wanita dalam keluarga
Keberadaan seorang wanita sebagai istri dan ibu dalam keluarga memiliki arti yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan dia merupakan satu tiang yang menegakkan kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam mencetak “orang-orang besar.” Sehingga tepat sekali bila dikatakan: “Di balik setiap orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan: “Perbaikan masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara:
Pertama: Perbaikan secara dzahir, yang dilakukan di pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari perkara-perkara yang dzahir. Ini didominasi oleh lelaki, karena merekalah yang biasa tampil di depan umum.
Kedua: Perbaikan masyarakat yang dilakukan dari balik dinding/ tembok. Perbaikan seperti ini dilakukan di rumah-rumah dan secara umum hal ini diserahkan kepada kaum wanita. Karena wanita adalah pengatur dalam rumahnya sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang ditujukan ketika itu kepada para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَقَرْنَ فِي بُيُوْتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَآتِيْنَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ إِنَّمَا يُرِيْدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا
“Tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan jangan kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah hanyalah berkehendak untuk menghilangkan dosa dari kalian wahai ahlul bait dan mensucikan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Kami yakin setelah ini bahwasanya tidak salah bila kami katakan perbaikan setengah masyarakat itu atau bahkan mayoritasnya tergantung pada wanita dikarenakan dua sebab berikut ini:
Pertama: Kaum wanita itu jumlahnya sama dengan kaum lelaki bahkan lebih banyak, yakni keturunan Adam mayoritasnya wanita sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh As-Sunnah An-Nabawiyyah. Akan tetapi hal ini tentunya berbeda antara satu negeri dengan negeri lain, satu zaman dengan zaman lain. Terkadang di satu negeri jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki dan terkadang di negeri lain justru sebaliknya. Sebagaimana di satu masa kaum wanita lebih banyak daripada laki-laki namun di masa lainnya justru sebaliknya, laki-laki lebih dominan. Apapun keadaannya wanita memiliki peran yang besar dalam memperbaiki masyarakat.
Kedua: Tumbuh dan berkembangnya satu generasi pada awalnya berada dalam asuhan wanita. Dengan ini jelaslah tentang kewajiban wanita dalam memperbaiki masyarakat.” (Daurul Mar’ah fi Ishlahil Mujtama’, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)
Bila demikian keadaannya, apakah bisa diterima ucapan yang mengatakan bahwa wanita yang bekerja dalam rumahnya, berkhidmat pada keluarganya adalah pengangguran? Manakah yang hakekatnya lebih utama, lebih berhasil dan lebih bahagia, wanita yang tinggal di rumahnya, menjaga diri dan kehormatannya, melayani suami hingga keluarganya menjadi keluarga yang sakinah, penuh cinta dan kasih sayang, dan ia mengasuh anak-anaknya hingga tumbuh menjadi anak-anak yang berbakti dan berguna bagi masyarakatnya, ataukah seorang wanita yang sibuk mengejar karier di kantor bersaing dengan para lelaki, bercampur baur dengan mereka, sementara suami dan anak-anaknya ia serahkan pengurusannya kepada orang lain? Manakah yang lebih merasakan ketentraman dan ketenangan?
Hendaklah dipahami oleh para wanita bahwa pekerjaan berkhidmat pada keluarga merupakan satu ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pekerjaan di dalam rumahnya bukanlah semata-mata gerak tubuhnya, namun pekerjaan itu memiliki ruh yang bisa dirasakan oleh orang yang mengerti tujuan kehidupan dan rahasia terwujudnya insan. (Daurul Mar’ah, hal. 3)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا, وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, ia menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya maka ia akan masuk surga dari pintu surga mana saja ia inginkan”. (HR. Ahmad, 1/191. Dalam Adabuz Zifaf, hal. 182, Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits ini hasan atau shahih, ia memiliki banyak jalan.”)
Surga sebagai tempat yang sarat dengan kenikmatan yang kekal abadi dapat dimasuki seorang wanita yang menyibukkan dirinya dengan ibadah kepada Allah, menjaga kehormatan dirinya dan taat kepada suaminya, dan tentunya semua ini dilakukan oleh seorang wanita di dalam rumahnya.

Pekerjaan wanita di dalam rumah
Beberapa pekerjaan yang bisa dilakukan wanita di dalam rumahnya, seperti:
Pertama: ibadah kepada Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Ummahatul Mukminin untuk berdiam di rumah mereka, Allah gandengkan perintah tersebut dengan perintah beribadah.
وَقَرْنَ فِي بُيُوْتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَآتِيْنَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ
“Dan tetaplah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang terdahulu, tegaklah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Ahzab: 33)
Dengan menegakkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, akan sangat membantu seorang wanita untuk melaksanakan perannya dalam rumah tangga. Dan dengan ia melaksanakan ibadah disertai kekhusyuan dan ketenangan yang sempurna akan memberi dampak positif kepada orang-orang yang ada di dalam rumahnya, baik itu anak-anaknya ataupun selain mereka.
Kedua: Wanita berperan memberikan sakan (ketenangan dan ketenteraman) bagi suami dan juga bagi rumahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan (istri) dari diri-diri kalian agar kalian merasakan ketenangan padanya dan Dia menjadikan di antara kalian mawaddah dan rahmah…” (Ar-Rum: 21)
Seorang wanita tidak bisa menjadi sakan bagi suaminya sampai dia memahami hak dan kedudukan suami, kemudian ia melaksanakan hak-hak tersebut dalam rangka taat kepada Allah dengan penuh kesenangan dan keridhaan. Seorang wanita perlu mengetahui tentang besarnya hak suami terhadapnya, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suami.” (HR. Ahmad, 4/381. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa-ul Ghalil no. 1998)
Ketika suaminya telah meninggal pun ia diperintah untuk menahan dirinya dari berhias (ber-ihdad) selama 4 bulan 10 hari.
لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى الْمَيِّتِ فَوْقَ ثَلاثٍ إلا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali bila yang meninggal itu adalah suaminya maka ia berihdad selama 4 bulan 10 hari.” (HR. Muslim no. 1486)
Seorang wanita bisa menjadi sakan bagi rumahnya bila ia menegakkan beberapa hal berikut ini:
1. Taat secara sempurna kepada suaminya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah
Taat ini merupakan asas ketenangan karena suami sebagai qawwam (pemimpin) tidak akan bisa melaksanakan kepemimpinannya tanpa ketaatan. Dan ketaatan kepada suami ini lebih didahulukan daripada melakukan ibadah-ibadah sunnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يِحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَْنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapatkan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Larangan ini menunjukkan keharaman, demikian diterangkan dengan jelas oleh orang-orang dalam madzhab kami.” (Syarah Shahih Muslim, 7/115). Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (9/356).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga memberikan alasan dalam hal ini: “Sebabnya adalah suami memiliki hak untuk istimta’ (bermesraan) dengan si istri sepanjang hari, haknya dalam hal ini wajib untuk segera ditunaikan sehingga jangan sampai hak ini luput ditunaikan karena si istri sedang melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yang wajib namun dapat ditunda.” (Syarah Shahih Muslim, 7/115)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bahwa lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah, karena hak suami itu wajib sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/356)
“Wajib bagi wanita/ istri untuk taat kepada suaminya dalam perkara yang ia perintahkan dalam batasan kemampuannya, karena hal ini termasuk keutamaan yang Allah berikan kepada kaum lelaki di atas kaum wanita, sebagaimana dalam ayat:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.”
dan ayat:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan bagi kaum lelaki kedudukannya satu derajat di atas kaum wanita.”
Hadits-hadits shahih yang ada memperkuat makna ini dan menjelaskan dengan terang apa yang akan diperoleh wanita dari kebaikan ataupun kejelekan bila ia mentaati suaminya atau mendurhakainya, demikian dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Adabuz Zifaf, hal. 175-176.
2. Mengerjakan pekerjaan rumah yang dibutuhkan dalam kehidupan keluarga seperti memasak, menjaga kebersihan, mencuci dan semisalnya.
Seorang wanita semestinya melakukan tugas-tugas di atas dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati dan kesadaran bahwa hal itu merupakan ibadah kepada Allah. Telah lewat teladan dari para sahabat dalam masalah ini. Mungkin kita masih ingat bagaimana kisah Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menggiling gandum sendiri untuk membuat kue hingga membekaskan kapalan pada kedua tangannya. Ketika akhirnya ia meminta pembantu kepada ayahnya untuk meringankan pekerjaannya maka sang ayah yang mulia memberikan yang lebih baik bagi putri terkasih.
أَلاَ أَدُلُّكُمَا عَلَى خَيْرِ مِمَّا سَأَلْتُمَانِي؟ إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا فَكَبِّرَا اللهَ أَرْبَعًا وَثَلاثِيْنَ, وَاحْمَدَا ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ, وَسَبِّحَا ثَلاثًا وَثلاثِيْنَ, فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمَا مِمَّا سَأَلْتُمَاهُ
“Maukah aku tunjukkan yang lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu? Bila kalian berdua hendak berbaring di tempat tidur kalian, bertakbirlah 34 kali, bertahmidlah 33 kali dan bertasbihlah 33 kali. Maka yang demikian itu lebih baik bagi kalian daripada apa yang kalian minta.” (HR. Al-Bukhari no. 3113 dan Muslim no. 2727)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mengingkari khidmat yang dilakukan putrinya dengan penuh kepayahan, padahal putrinya adalah wanita yang utama dan mulia. Bahkan beliau mengakui khidmat tersebut dan memberi hiburan kepada putrinya dengan perkara ibadah yang lebih baik daripada seorang pembantu.
3. Menjaga rahasia suami dan kehormatannya sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya.
4. Menjaga harta suami.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ نِسَاءِ رَكِبْنَ اْلإِبِل صَالِحُ نِسَاءِ فُرَيْشٍ: أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صَغِيْرِهِ, وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
“Sebaik-baik wanita penunggang unta, wanita Quraisy yang baik, adalah yang sangat penyayang terhadap anaknya ketika kecilnya dan sangat menjaga suami dalam apa yang ada di tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5082 dan Muslim no. 2527).
Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: adalah wanita itu sangat menjaga dan memelihara harta suami dengan berbuat amanah dan tidak boros dalam membelanjakannya. (Fathul Bari, 9/152)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan keutamaan sifat kasih sayang (dari seorang ibu), tarbiyah yang baik, mengurusi anak-anak, menjaga harta suami, mengurusi dan mengaturnya dengan cara yang baik.” (Fathul Bari, 9/152)
5. Bergaul dengan suami dengan cara yang baik.
Dengan memaafkan kesalahan suami bila ia bersalah, membuatnya ridha ketika ia marah, menunjukkan rasa cinta kepadanya dan penghargaan, mengucapkan kata-kata yang baik dan wajah yang selalu penuh senyuman. Juga memperhatikan makanan, minuman dan pakaian suami.
6. Mengatur waktu sehingga semua pekerjaan tertunaikan pada waktunya, menjaga kebersihan dan keteraturan rumah sehingga selalu tampak rapi hingga menyenangkan pandangan suami dan membuat anak-anak pun betah.
7. Jujur terhadap suami dalam segala sesuatu, khususnya ketika ada sesuatu yang terjadi sementara suami berada di luar rumah. Jauhi sifat dusta karena hal ini akan menghilangkan kepercayaan suami.
Ketiga: mendidik anak-anak (tarbiyatul aulad)
Tugas ini termasuk tugas terpenting seorang wanita di dalam rumahnya, karena dengan memperhatikan pendidikan anak-anaknya berarti ia mempersiapkan sebuah generasi yang baik dan diridhai oleh Rabbul Alamin. Dan tanggung jawab ini ia tunaikan bersama-sama dengan suaminya karena setiap mereka adalah mas’ul yang akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adhaah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)
Keempat: mengerjakan pekerjaan lain di dalam rumah bila ada kelapangan waktu dan kesempatan, seperti menjahit pakaian untuk keluarga dan selainnya. Dengan cara ini ia bisa berhemat untuk keluarganya di samping membantu suami menambah penghasilan keluarga.
Apa yang disebutkan di atas dari tugas seorang wanita merupakan tugas yang berat namun akan bisa ditunaikan dengan baik oleh seorang wanita yang shalihah yang membekali dirinya dengan ilmu agama, ditambah bekal pengetahuan yang diperlukan untuk mendukung tugasnya di dalam rumah. Adapun bila wanita itu tidak shalihah, jahil lagi bodoh maka di tangannya akan tersia-siakan tugas yang mulia tersebut.
Wallahu ta’ala a’lam.

1 Adapun penyebutan bahwa nama ayah kedua wanita tersebut adalah Nabi Syu’aib, hal ini tidak tsabit (tidak benar). Hal ini diterangkan oleh Ibnu Katisr dalam Tafsir-nya (3/467), menukil perkataan Ibnu Jarir: “Yang benar bahwa hal seperti ini tidak dapat diketahui kecuali dengan adanya kabar/ atsar, dan tidak ada atsar (berita) yang dapat menjadi pegangan dalam hal ini.” (ed)
2 Yaitu wanita harus tinggal dalam rumahnya dan melakukan pekerjaan di dalam rumah.

Sumber :http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=194

Muslimah Yang Ikhlas

Selasa, 18 Desember 2007

Penulis: Ummu Habibah
Muroja’ah: Ustadz Abu Salman

Saudariku muslimah… ketahuilah bahwa engkau dan manusia seluruhnya di muka bumi ini diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah, demikian pula tujuan jin diciptakan tidak lain adalah untuk meyembah Allah.Allah berfirman,“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu (yaitu mengesaknKu).” (Adz Dzariyat 56)
Ibadah dilakukan oleh seorang muslimah karena kebutuhannya terhadap Allah sebagai tempat sandaran hati dan jiwa, sekaligus tempat memohon pertolongan dan perlindungan. Dan ketahuilah saudariku bahwa ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal seorang muslimah, di samping dia harus mencontoh gerak dan ucapan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam dalam ibadahnya.


“Dan mereka tidaklah disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan dien (agama) kepadaNya, dengan mentauhidknnya.“ (Al Bayyinah 5)
Ikhlas adalah meniatkan ibadah seorang muslimah hanya untuk mengharap keridhoan dan wajah Allah semata dan tidak menjadikan sekutu bagi Allah dalam ibadah tersebut.Ibadah yang dilakukan untuk selain Allah atau menjadikan sekutu bagi Allah sebagai tujuan ibadah ketika sedang beribadah kepada Allah adalah syirik dan ibadah yang dilakukan dengan niat yang demikian tidak akan diterima oleh Allah. Misalnya menyembah berhala di samping menyembah Allah atau dengan ibadah kita mengharapkan pujian, harta, kedudukan dunia, dan lain-lain. Syirik merusak kejernihan ibadah dan menghilangkan keikhlasan dan pahalanya.Abu Umamah meriwayatkan, seseorang telah menemui Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam dan bertanya, “ Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan upah dan pujian? Apakah ia mendapatkan pahala?”
Rasululllah sholallahu ‘alaihi wassalam menjawab, “ Ia tidak mendapatkan apa-apa.”Orang tadi mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali, dan Rasululllah sholallahu ‘alaihi wassalam pun tetap menjawab, “ Ia tidak akan mendapatkan apa-apa. “ Lalu beliau bersabda,“Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal, kecuali jika dikerjakan murni karenaNya dan mengharap wajahNya.” (HR. Abu Dawud dan Nasai)
Ketahuilah saudariku… bahwa ikhlas bukanlah hal yang mudah dilakukan. Ikhlas adalah membersihkan hati dari segala kotoran, sedikit atau pun banyak – sehingga tujuan ibadah adalah murni karena Allah.
Ikhlas hanya akan datang dari seorang muslimah yang mencintai Allah dan menjadikan Allah sebagi satu-satunya sandaran dan harapan. Namun kebanyakan wanita pada zaman sekarang mudah tergoda dengan gemerlap dunia dan mengikuti keinginan nafsunya. Padahal nafsu akan mendorong seorang muslimah untuk lalai berbuat ketaatan dan tenggelam dalam kemaksiatan, yang akhirnya akan menjerumuskan dia pada palung kehancuran di dunia dan jurang neraka kelak di akhirat.
Oleh karena itu, hampir tidak ada ibadah yang dilakukan seorang muslimah bisa benar-benar bersih dari harapan-harapan dunia. Namun ini bukanlah alasan untuk tidak memperhatikan keikhlasan. Ingatlah bahwa Allah sentiasa menyayangi hambaNya, selalu memberikan rahmat kepada hambaNya dan senang jika hambaNya kembali padaNya. Allah senatiasa menolong seorang muslimah yang berusaha mencari keridhoan dan wajahNya.
Tetaplah berusaha dan berlatih untuk menjadi orang yang ikhlas. Salah satu cara untuk ikhlas adalah menghilangkan ketamakan terhadap dunia dan berusaha agar hati selalu terfokus kepada janji Allah, bahwa Allah akan memberikan balasan berupa kenikmatan abadi di surga dan menjauhkan kita dari neraka. Selain itu, berusaha menyembunyikan amalan kebaikan dan ibadah agar tidak menarik perhatianmu untuk dilihat dan didengar orang, sehingga mereka memujimu. Belajarlah dari generasi terdahulu yang berusaha ikhlas agar mendapatkan ridho Allah.Dahulu ada penduduk Madinah yang mendapatkan sedekah misterius, hingga akhirnya sedekah itu berhenti bertepatan dengan sepeninggalnya Ali bin Al Husain. Orang-orang yang yang memandikan beliau tiba-tiba melihat bekas-bekas menghitam di punggung beliau, dan bertanya, “Apa ini?” Sebagian mereka menjawab, “Beliau biasa memanggul karung gandum di waktu malam untuk dibagikan kepada orang-orang fakir di Madinah”. Akhirnya mereka pun tahu siapa yang selama ini suka memberi sedekah kepada mereka. Ketika hidupnya, Ali bin Husain pernah berkata, “Sesungguhnya sedekah yang dilakukan diam-diam dapat memadamkan kemurkaan Allah”.
Janganlah engkau menjadi orang-orang yang meremehkan keikhlasan dan lalai darinya. Kelak pad hari kiamat orang-orang yang lalai akan mendapati kebaikan-kebaikan mereka telah berubah menjadi keburukan. Ibadah mereka tidak diterima Allah, sedang mereka juga mendapat balasan berupa api neraka dosa syirik mereka kepada Allah.
Allah berfirman,“Dan (pada hari kiamat) jelaslah bagi azab mereka dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan jelaslah bagi mereka keburukan dari apa-apa yang telah mereka kerjakan.” (Az Zumar 47-48)
“Katakanlah, Maukah kami kabarkan tentang orang yang paling merugi amalan mereka? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia usaha mereka di dunia, sedang mereka menyangka telah mengerjakan sebaik-baiknya.” (Al Kahfi 103-104)
Saudariku muslimah… bersabarlah dalam belajar ikhlas. Palingkan wajahmu dari pujian manusia dan gemerlap dunia. Sesungguhnya dunia ini fana dan akan hancur, maka sia-sia ibadah yang engkau lakukan untuk dunia. Sedangkan akhirat adalah kekal, kenikmatannya juga siksanya. Bersabarlah di dunia yang hanya sebentar, karena engkau tidak akan mampu bersabar dengan siksa api neraka walau hanya sebentar.

Maraji’: Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf, Tazkiyatun Nufus

 
 
 
 
Copyright © Moslem Wear